Dampak tauhidullah pada diri seorang muslim harus nyata. Pertama : Seorang muslim yang bertauhid harus merasa senantiasa bersama dan diawasi Allah (ma’yatullah dan muraqabatullah), Kedua : Mencintai (mahabbah) dan ridha kepada Allah melebihi dari apapun. Ketiga : Yakin atau percaya kepada janji Allah (tsiqah bi wa’dillah).
Ma’yatullah, mahabbah dan tsiqah bi wa’dillah akan mendorong seorang muslim untuk senantiasa menjaga aqidahnya, taat kepada aturan Allah dan menjauhi maksiyat serta bergiat dalam dakwah sehingga ia akan menjadi seorang muslim kaffah yang senantiasa mengharap keridhaan Allah (mardhatillah) dan surga (jannah). Allah swt. telah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 208)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya perkataan orang-orang beriman, ketika dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menerapkan hukum (Islam) diantara mereka, mereka mengatakan : ’Kami mendengar dan kami patuh’ dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur [24] : 51)
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rab-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka (haraj) terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka beriman dengan taslim. “ (QS. al-Nisaa’ [4] : 65)
Ma’yatullah
Ma’iyyah berasal dari kata ma’a, artinya bersama. Ma’iyatullah berarti kebersamaan Allah swt. Ma’iyyatullah ada dua : al-ma’iyyah al-amah dan al-ma’iyyah al-khashah.
Al-Ma’iyyatullah al-amah
Al-ma’iyyatullah al-amah (kebersamaan umum) artinya bahwa Allah swt. senantiasa bersama dengan seluruh manusia. Baik tua atau muda, laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun kafir. Dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui (al-‘Alim), Maha Melihat (al-Bashir), Maha Mendengar (al-Sami’), Allah akan senantiasa mengetahui dan melihat apa yang dilakukan manusia dan apa yang dikatakannya.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian istiwa di arsy. Dia mengetahui apa yang ada di bumi dan yang keluar dari bumi, apa yang turun dari langit dan apa-apa yang naik padanya. Dia bersamamu dimanapun kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid [57] : 4)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidakkah engkau ketahui bahwa Allah mengetahui apa-apa yang ada dilangit dan apa-apa yang ada di bumi? Tiadalah berbisik tiga orang, melainkan dia yang keempatnya dan tidak pula lima orang, melainkan Dia yang keenamnya dan tiada kurang serta tiada lebih melainkan Dia bersama mereka dimana saja mereka berada. Kemudian Dia kabarkan kepada mereka apa-apa yang mereka kerjakan pada hari kiamat. Sungguh Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-Mujadilah [58] : 7)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiadalah satu perkataanpun yang diucapkan seseorang melainkan disisinya ada raqib dan atid.” (QS. Qaaf [50] : 18)
Wujud dari al-Ma’iyyatullah al-amah adalah Allah memberikan kemuliaan dan rahmat-Nya berupa nyawa, rizki dan segenap nikmat kepada manusia, baik ia beriman kepada Allah ataupun ia ingkar kepada-Nya. Baik ia selalu taat atau bergelimang maksiyat. Allah swt. berfirman :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Allah menundukkan (taskhir) untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin, Diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu, tanpa pertunjuk dan tanpa kitab yang terang.” (QS. Luqman [31] : 20)
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam dan Kami angkut mereka dengan kendaraan di darat dan di laut serta Kami beri rizki mereka dengan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami jadikan dengan kelebihan (yang sempurna).” (QS. al-Isra’ [17] : 70)
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat ihsan kepada mereka. Dan selalu taat kepada segenap aturan Allah dan takut berbuat maksiyat oleh karena Allah senantiasa bersama mereka.
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Berbuatlah ihsan kamu sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepada engkau….” (QS. al-Qashash [28] : 77)
al-Ma’iyyatullah al-khashah
Tidak semua manusia ternyata dapat merespon muraqabatullah dan ihsanullah sebagaimana mestinya. Sangat banyak manusia yang mudah sekali melakukan kemaksiyatan, padahal setiap saat Allah senantiasa mengawasi manusia. Juga, sangat mudah melakukan ke-dzaliman kepada sesama manusia. Padahal Allah senantiasa berbuat baik kepadanya.
Oleh karena itu, sekalipun mendapatkan al-ma’iyyah al-amah, tapi tidak mendapatkan al-ma’iyyah al-khasshah yang bentuknya berupa ta’yidullah (dukungan Allah) dan nashrullah (pertolongan Allah) sebagaimana dialami oleh Rasulullah dan Abu Bakar saat keduanya berada di gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy dalam hijrahnya ke Madinah. Orang Quraisy tidak menyangka sama sekali bahwa Rasul dan Abu Bakar berada didalam gua karena di mulut gua ada burung merpati yang bertelur serta sarang laba-laba yang masih utuh. Logika mereka, bila ada orang masuk, tentu semua itu akan rusak. Mereka tidak menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan itu semua demi menolong dua hamba terkasihnya. Allah swt. berfirman :
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jika kamu tiada menolong Nabi, sesungguhnya Allah telah menolongnya, ketika orang-orang kafir mengusirnya, sebagai orang kedua dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua (Tsur), ketika ia berkata kepada sahabatnya : ‘Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Lalu Allah menurunkan ketenangan diatas dirinya dan menguatkannya dengan bala tentara yang tiada kamu lihat (malaikat) dan Allah menjadikan perkataan orang-orang kafir rendah dan kalimat Allah tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9] : 40)
Atau seperti yang dialami oleh Nabi Musa dan saudaranya Harun saat menghadapi kekejaman penguasa diktaktor Fir’aun.
قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى
“Berkatalah mereka berdua : ‘Yaa Rab kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (QS. Thaha [20] : 45)
Lalu Allah menghibur mereka seraya mengatakan,
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
“Jangan kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat.” (QS. Thaha [20] : 46)
Yakin bahwa dukungan dan pertolongan Allah pasti diberikan kepada manusia yang senantiasa beriman dan konsekwen dengan keimanannya itu. Maka ia senantiasa akan berusaha mewujudkan keimanannya dalam ketatan pada semua aturan Allah baik menyangkut kehidupan individu, keluarga maupun dalam bermasyarakat dan bernegara. Ketika dilihatnya bahwa ditengah keluarga, masyarakat dan negara belum tegak aturan Allah, ia akan berjuang hingga aturan itu tegak secara sempurna. Ia tidak takut untuk senantiasa taat dan tidak takut pula dalam berjuang karena Allah pasti akan menolong dan mendukungnya. Baik dukungan berupa kemudahan dalam urusan, jalan keluar atas persoalan yang dihadapi maupun tambahan rizki yang tiada diduga-duga arahnya. Apapun, Allah pasti akan menjadi penolong orang-orang yang istiqamah dijalan-Nya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2] : 153)
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesunggunya Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 194)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا(2)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah, akan diberikan kepadanya (makhraja) jalan keluar dan akan diberinya rizki dari arah yang tiada diduga-duga, Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. at-Thalaq [65] : 2-3)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah akan dijadikan untuknya kemudahan urusannya.” (QS. at-Thalaq [65] : 4)
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang istiqamah menyatakan Rab kami Allah, akan turun kepada mereka malaikat seraya mengatakan janganlah engkau takut dan khawatir. Dan berikan khabar gembira untuk mereka dengan surga yang dijanjikan. Kami-lah pelindungmu didalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS. Fushilat [41] : 30-31)
Mahabbah dan Ridha
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah : ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. at-Taubah [9] : 24)
Berdasarkan ayat diatas, maka al-mahabbah (kecintaan) terbagi menjadi tiga : pertama : al-mahabbatu al-ula, yaitu kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad fi sabilillah. Kedua : al-mahabbatu al-wustha, yaitu kecintaan kepada selain Allah, Rasul dan jihad fi sabilillah yang diijinkan, misalnya pada ibu-bapak, anak-anak, suami-istri, karib-kerabat, harta-benda dan sebagainya. Ketiga : al-mahabbatu al-adna, yaitu kecintaan kepada ibu-bapak, anak-anak, suami-istri, karib-kerabat, harta benda dan sebagainya melebihi kecintaannya kepada Allah, Rasul dan Jihad.
Secara fitri sebagai wujud dari gharizatu al-baqa’ dan gharizatu al-nau’, manusia cenderung menyukai harta dan mencintai sesama manusia. Akan tetapi, ketika seseorang muslim telah menyatakan bertauhid maka posisi Allah dan Rasul-Nya menempati posisi utama, lebih dari yang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat diatas. Kecintaan utama kepada Allah dan Rasul-Nya mendorongnya untuk taat dan menjauhi maksiyat. Termasuk ketika jihad memanggil, dengan ringan ia memenuhi panggilan itu seraya meninggalkan semua hal yang dicintainya. Allah swt. berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3] : 31)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. al-Baqarah [2] : 165)
Tsiqah bi Wa’dillah
Tsiqah bi Wa’dillah, artinya percaya dengan janji Allah. Seorang muslim wajib mempercayai janji Allah, baik yang termaktub dalam al-Qur’an maupun yang disampaikan-Nya melalui lisan Nabi-Nya dalam hadist-hadist. Dengan mempercayai janji Allah, seorang muslim sesungguhnya telah mempunyai sikap hidup yang unik. Yakni sikap hidup muslim yang tidak hanya bertumpu pada kenyataan atau tantangan yang ada, tetapi bertumpu pada kepercayaan mutlak akan janji Allah. Sehingga, betapapun buruknya kenyataan yang ada atau betapa pun beratnya tantangan yang menghadang, ia akan menghadapinya dengan teguh dan tegar, bahkan dengan bersemangat. Tidak putus asa. Ia meyakini secara pasti, bahwa setiap kesulitan akan selalu diikuti dengan kemudahan, bahwa kemenangan akan berpihak kepada orang-orang mukmin dan bahwa Allah akan memenangkan Islam atas agama-agama yang lain, walaupun orang-orang kafir membencinya.
Percaya kepada janji Allah berpangkal dari iman, bahwa janji Allah pastilah benar. Allah tidak mungkin mengingkarinya dan tidak mungkin Allah tidak mampu menepati janjinya itu. Jadi, janji Allah tidak mungkin meleset. Allah mempunyai kuasa (qudrah) untuk mewujudkan janji itu. Allah adalah Maha Berkuasa (qadiir) atas segala sesuatu. Allah swt. telah mengaitkan janji kemenangan dengan sifat-Nya Yang Maha Kuasa :
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini kebenaran ayat-ayat Allah itu menggelisahkan kamu.” (QS. ar-Ruum [30] : 60)
وَأُخْرَى لَمْ تَقْدِرُوا عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ اللَّهُ بِهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا
“Dan (Allah telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya, yang sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Fath [48] : 21)
Jika Allah swt. telah menjanjikan sesuatu kepada hamba-Nya, niscaya Allah swt. tidak akan menyalahi janji-Nya itu. Allah swt. telah menfirmankan hal itu dalam satu ayat-Nya, yang merupakan salah satu bentuk do’a bagi seorang muslim yang percaya kepada janji-Nya :
رَبَّنَا وَءَاتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran [3] : 194)
Disamping itu, secara faktual sebagaimana ditunjuk-kan oleh sejarah, janji Allah memang terbukti benar. Dalam berbagai riwayat hadist, Rasulullah saw. juga telah menjanjikan kemenangan dan pembebasan dari kesusahan dalam berbagai kesempatan. Berkaitan dengan penaklukan jazirah Arab dan Romawi, Rasulullah saw. bersabda :
“Kalian akan memerangi jazirah Arab lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian akan memerangi Romawi lalu Allah menaklukkannya.” (HR. Muslim)
Tentang penaklukkan Mesir, Rasulullah bersabda :
“Mesir akan ditaklukkan. Dia adalah negeri yang didalamnya disebut al-Qirath. Aku wasiatkan, hendaklah kalian berlaku baik terhadap penduduknya.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw. juga telah mengabarkan kepastian penaklukan Konstantinopel (sekarang Istambul) sekitar delapan abad sebelum ditaklukkanya kota itu. Rasulullah saw. bersabda :
“Sungguh Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukkan kota itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkan kota itu.”
Demikianlah janji-janji Allah dan Rasuln-Nya. Lalu, apakah janji-janji itu telah menyalahi kenyataan? Fakta sejarah membuktikan bahwa Islam telah menang dan Daulah Islamiyyah berdiri di Madinah. Kemusyrikan terhapus dari jazirah Arab. Persia dan Romawi hilang eksistensinya. Konstantinopel pun akhirnya ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih pada tahun 1453.
Namun demikian, percaya kepada janji Allah menuntut adanya sifat, sikap dan perbuatan tertentu dari seorang muslim. Sebab, janji Allah hanya akan diberikan kepada orang-orang yang beriman, beramal shaleh dan menolong atau memperjuangkan agama Allah. Allah swt. berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47] : 7)
Ayat diatas menerangkan, bahwa pertolongan Allah –sebagai salah satu janji Allah— hanya akan diberikan kepada orang yang beriman yang memperjuangkan dan mendakwah-kan agama Islam. Jadi, janji Allah tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak beriman atau yang bertopang dagu saja, tidak mendakwahkan Islam.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. an-Nuur [24] : 55)
Dalam ayat diatas, Allah telah menjanjikan kekuasaan kepada kaum muslimin. Tetapi, janji Allah ini menuntut adanya keimanan dan amal-amal shaleh yang diperlukan, agar janji Allah itu terwujud secara nyata.
Dengan demikian, percaya kepada janji Allah dapat dikatakan merupakan suatu energi dinamis bagi seorang muslim. Janji Allah tidak akan membiusnya untuk berleha-leha atau berandai-andai, namun sebaliknya akan mendo-rongnya untuk berbuat dan bertindak, agar janji Allah itu terwujud dalam kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar